Kisah 3 Pria Belanda Temukan Gunung Emas di Papua
Jakarta - Berita dari sebuah surat kabar itu membuat hati Jean Jacques Dozy jengkel. Suatu hari di markas Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM), Babo, Papua Barat, pertengahan 1936.
Hal yang membuat jengkel Dozy kala itu adalah berita bahwa Jepang ingin mendaki puncak Cartensz di Papua Barat. Kejengkelan lelaki yang kala itu berusia 28 tahun itu beralasan. Jika orang Jepang menjadi yang pertama mencapai puncak Cartensz, bisa dipastikan mereka akan memperluas wilayah jajahannya. Ia bersama dua rekannya, A.H Colijn dan Franz Wissel tak ingin hal itu sampai terjadi.
"Sehingga disepakati bahwa mereka sebagai orang Belanda harus menjadi orang pertama yang mendaki Gunung Cartensz," kata Greg Poulgrain dalam buku karyanya, "The Incubus of Intervention, Conflicting Indonesia Strategies of John F Kennedy and Allen Dulles" seperti dikutip Detik.com,
Dozy bekerja di NNGPM sebagai Kepala ahli geologi minyak dan bumi. Colijn adalah manajer anak perusahaan Royal Ducth Shell yang dalam ekspedisi ke Puncak Cartensz ditetapkan sebagai pemimpin rombongan.
Adapun Wissel merupakan pilot angkatan laut Belanda yang kemudian bekerja di Perusahaan Minyak Batavia atau Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Dia ditempatkan di Kalimantan untuk melakukan pemetaan udara. Sebelum ekspedisi, terlebih dahulu dilakukan survei udara. Jalur ekspedisi direncanakan dari pesawat.
"Suatu hari ketika kami mendapat pesawat udara amfibi tua jenis Sikorsky, kami melakukan penerbangan pengintaian dan melihat pegunungan, dan perlahan-lahan, satu per satu rencana mulai dikembangkan," kata Dozy kepada Poulgrain pada 1982.
Pada 23 Oktober 1936, Colijn dan Dozy meninggalkan Babo dengan Kapal Albatros menuju Aika, wilayah terisolir yang menjadi gudang Timah. Sementara Wissel menerjunkan pasokan logistik di Aika dengan dibantu sejumlah kuli pengangkut barang.
Mereka bertiga kemudian mendaki Puncak Cartensz. Ada 38 orang dari Kalimantan yang menemani ketiganya. Namun hanya beberapa yang kuat bertahan karena memang medan yang terjal.
Baca juga: Pemerintah Indonesia Berwatak Kriminal dan Brutal
Di ketinggian 4 ribu meter Dozi, Colijn dan Wissel mencapai padang rumput sesuai dengan yang mereka lihat saat survei melalui udara. "Di situlah Dozy menemukan singkapan pegunungan yang dinamai Erstberg," tulis Poulgrain.
Kepada Poulgrain, Dozy mengatakan bahwa, tidak ada batu lain di Erstberg kecuali bijih. Dalam kondisi basah dan dingin di ketinggian itu, bau bijih bisa dirasakan hingga di seluruh pedesaan bahkan saat gunung belum terlihat.
Dua kilo meter dari Erstberg, Dozy dan kawan-kawan menemukan Gerstberg yang kemudian digambarkan sebagai tempat penyimpanan emas terbesar di dunia. Pada 5 Desember 1936 mereka bertiga mencapai Puncak Cartensz.
Mereka tiba kembali di Babo tepat pada 25 Desember 1936. Hasil temuan Dozy, Colijn dan Wissel tersebut kemudian disusun dalam sebuah laporan yang disimpan di salah satu perpustakaan di Belanda.
Petinggi pemerintah Belanda maupun elite perusahaan minyak kala itu menyimpan rapat-rapat temuan tersebut. Hingga pada 1959 Direktur Eksplorasi Freeport Sulphur Company, Forbes Wilson bertemu dengan Jan Van Gruisen, Managing Director Oost Maatchappij, perusahaan Belanda yang mengeksploitasi batu bara di Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara.
Setahun kemudian Freeport melakukan ekspedisi ke Cartensz dipimpin Forbes Wilson & Del Flint. Mereka menjelajah Ertsberg. Wilson menuangkan hasil survei tersebut dalam buku berjudul, The Conquest of Cooper Mountain.
Menurut Poulgrain pengakuan bahwa Freeport mendapatkan laporan Dozy soal emas Papua dari perpustakaan di Belanda tidak benar. "Orang yang membuat Forbes Wilson tertarik dengan temuan Dozy ya keluarga dekat Dozy," kata dia saat bedah bukunya tersebut di kantor LIPI, jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (5/9/2017).
Tahun 1967 pemerintah Indonesia dan Freeport Sulphur, yang kini menjadi Freeport McMoran menandatangani kontrak karya pertambangan pertama. Freeport mendapat hak melakukan penambangan di Irian Barat
Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam menyoroti metodologi penulisan buku Poulgrain tersebut. Poulgrain mewawancarai Dozy 40 tahun setelah penemuan gunung emas di Papua. Dalam penulisan atau penelitian sejarah, wawancara lisan menjadi pelengkap dari sumber-sumber tertulis.
Namun bila wawancara itu dilakukan 20 atau 30 tahun sesudah peristiwa terjadi, pelaku sejarah bisa memperhebat dirinya atau mereduksi kesalahan-kesalahannya. "Itu jebakan dari sejarah lisan," kata Asvi yang turut menjadi pembedah buku Poulgrain. (erd/jat)
Sumber: https://news.detik.com
Hal yang membuat jengkel Dozy kala itu adalah berita bahwa Jepang ingin mendaki puncak Cartensz di Papua Barat. Kejengkelan lelaki yang kala itu berusia 28 tahun itu beralasan. Jika orang Jepang menjadi yang pertama mencapai puncak Cartensz, bisa dipastikan mereka akan memperluas wilayah jajahannya. Ia bersama dua rekannya, A.H Colijn dan Franz Wissel tak ingin hal itu sampai terjadi.
"Sehingga disepakati bahwa mereka sebagai orang Belanda harus menjadi orang pertama yang mendaki Gunung Cartensz," kata Greg Poulgrain dalam buku karyanya, "The Incubus of Intervention, Conflicting Indonesia Strategies of John F Kennedy and Allen Dulles" seperti dikutip Detik.com,
Dozy bekerja di NNGPM sebagai Kepala ahli geologi minyak dan bumi. Colijn adalah manajer anak perusahaan Royal Ducth Shell yang dalam ekspedisi ke Puncak Cartensz ditetapkan sebagai pemimpin rombongan.
Adapun Wissel merupakan pilot angkatan laut Belanda yang kemudian bekerja di Perusahaan Minyak Batavia atau Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Dia ditempatkan di Kalimantan untuk melakukan pemetaan udara. Sebelum ekspedisi, terlebih dahulu dilakukan survei udara. Jalur ekspedisi direncanakan dari pesawat.
"Suatu hari ketika kami mendapat pesawat udara amfibi tua jenis Sikorsky, kami melakukan penerbangan pengintaian dan melihat pegunungan, dan perlahan-lahan, satu per satu rencana mulai dikembangkan," kata Dozy kepada Poulgrain pada 1982.
![]() |
Foto: ilustrator Mindra Purnomo/detikcom |
Pada 23 Oktober 1936, Colijn dan Dozy meninggalkan Babo dengan Kapal Albatros menuju Aika, wilayah terisolir yang menjadi gudang Timah. Sementara Wissel menerjunkan pasokan logistik di Aika dengan dibantu sejumlah kuli pengangkut barang.
Mereka bertiga kemudian mendaki Puncak Cartensz. Ada 38 orang dari Kalimantan yang menemani ketiganya. Namun hanya beberapa yang kuat bertahan karena memang medan yang terjal.
Baca juga: Pemerintah Indonesia Berwatak Kriminal dan Brutal
Di ketinggian 4 ribu meter Dozi, Colijn dan Wissel mencapai padang rumput sesuai dengan yang mereka lihat saat survei melalui udara. "Di situlah Dozy menemukan singkapan pegunungan yang dinamai Erstberg," tulis Poulgrain.
Kepada Poulgrain, Dozy mengatakan bahwa, tidak ada batu lain di Erstberg kecuali bijih. Dalam kondisi basah dan dingin di ketinggian itu, bau bijih bisa dirasakan hingga di seluruh pedesaan bahkan saat gunung belum terlihat.
Dua kilo meter dari Erstberg, Dozy dan kawan-kawan menemukan Gerstberg yang kemudian digambarkan sebagai tempat penyimpanan emas terbesar di dunia. Pada 5 Desember 1936 mereka bertiga mencapai Puncak Cartensz.
Mereka tiba kembali di Babo tepat pada 25 Desember 1936. Hasil temuan Dozy, Colijn dan Wissel tersebut kemudian disusun dalam sebuah laporan yang disimpan di salah satu perpustakaan di Belanda.
Petinggi pemerintah Belanda maupun elite perusahaan minyak kala itu menyimpan rapat-rapat temuan tersebut. Hingga pada 1959 Direktur Eksplorasi Freeport Sulphur Company, Forbes Wilson bertemu dengan Jan Van Gruisen, Managing Director Oost Maatchappij, perusahaan Belanda yang mengeksploitasi batu bara di Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara.
Setahun kemudian Freeport melakukan ekspedisi ke Cartensz dipimpin Forbes Wilson & Del Flint. Mereka menjelajah Ertsberg. Wilson menuangkan hasil survei tersebut dalam buku berjudul, The Conquest of Cooper Mountain.
Menurut Poulgrain pengakuan bahwa Freeport mendapatkan laporan Dozy soal emas Papua dari perpustakaan di Belanda tidak benar. "Orang yang membuat Forbes Wilson tertarik dengan temuan Dozy ya keluarga dekat Dozy," kata dia saat bedah bukunya tersebut di kantor LIPI, jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (5/9/2017).
Tahun 1967 pemerintah Indonesia dan Freeport Sulphur, yang kini menjadi Freeport McMoran menandatangani kontrak karya pertambangan pertama. Freeport mendapat hak melakukan penambangan di Irian Barat
Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam menyoroti metodologi penulisan buku Poulgrain tersebut. Poulgrain mewawancarai Dozy 40 tahun setelah penemuan gunung emas di Papua. Dalam penulisan atau penelitian sejarah, wawancara lisan menjadi pelengkap dari sumber-sumber tertulis.
Namun bila wawancara itu dilakukan 20 atau 30 tahun sesudah peristiwa terjadi, pelaku sejarah bisa memperhebat dirinya atau mereduksi kesalahan-kesalahannya. "Itu jebakan dari sejarah lisan," kata Asvi yang turut menjadi pembedah buku Poulgrain. (erd/jat)
Sumber: https://news.detik.com