Masyarakat Adat Independen Buka Posko Pengaduan Korban 50 Tahun Operasi Freeport Dibuka
Timika - Masyarakat akar rumput Timika yang tergabung dalam Masyarakat Adat Independen (MAI) membuka posko pengaduan bagi masyarakat akar rumput Mimika yang telah menjadi korban selama lima puluh tahun PT Freeport Indonesia beroperasi di Tembagapura hingga pesisir Mimika.
"Sikap MAI jelas. Walaupun sudah ada deal politik antara Freeport dengan pemerintah atau kelompok yang mengatasnamakan masyarakat adat, itu hanya sepihak. Itu tidak bisa menutup fakta ada banyak korban, maka kami tetap menuntut pengakuan dan reparasi bagi para korban," kata Ketua MAI, Vincent Oniyoma dalam konfrensi pers di Sekretariat MAI, Jalan Trikora Gang Amole Kwamki Baru, Rabu (26/4).
MAI resmi membuka Posko pengaduan pada 7 April 2017, tepat 50 tahun operasi tambang PT FI di Tembagapura. Central Posko Pengaduan tetap berposisi di Sekretariat MAI. Untuk mempermudah masyarakat membuat pengaduan, MAI akan membuka 15 posko sektor tersebar di wilayah Kabupaten Mimika.
"MAI hadir untuk menjadi media bagi korban investasi Freeport selama 50 tahun. Kami siap mendata dan mendampingi para korban. Kepada pihak pihak yang dipakai Freeport dan selalu mengatasnamakan masyarakat adat, coba kembali turun lihat situasi masyarakat akar rumput. Sesungguhnya kita semua adalah korban," katanya
Salah satu saksi sekaligus korban, Mama Ema Natkime mencoba mengisahkan pengalamannya. Namun, karena air mata terlanjur jatuh, ia tak lagi mampu bercerita panjang lebar.
"Sebenarnya kami yang punya gunung, tapi bukan kami punya lagi. Mau bicara juga salah, karena bukan kita punya barang lagi. Generasi kami hancur, diancam dengan segala cara. Kami sudah kayak sampah, binatang, bukan manusia," kata Mama Ema sambil menangis.
"Masih ada generasi tua yang hidup, mereka ini masih bisa jadi saksi apa sebenarnya yang terjadi," ujar Thomas
Stevanus Warae mewakili masyarakat Suku Kamoro menambahkan, selama 50 tahun PT FI beroperasi, masyarakat adat termarginalkan. Masyarakat adat bukan pelaku, tapi hanya menjadi penonton kekayaan alamnya dieksploitasi.
Selain membuka posko pengaduan bagi korban, MAI tetap konsisten menuntut audit hasil kekayaan PT FI selama 50 tahun beroperasi dan mempertanggungjawabkan kerugian yang dialami masyarakat akar rumput serta memberikan hak masyarakat akar rumput menentukan masa depan pertambangan di atas tanahnya.
Sumber: HarianPapua.com
"Sikap MAI jelas. Walaupun sudah ada deal politik antara Freeport dengan pemerintah atau kelompok yang mengatasnamakan masyarakat adat, itu hanya sepihak. Itu tidak bisa menutup fakta ada banyak korban, maka kami tetap menuntut pengakuan dan reparasi bagi para korban," kata Ketua MAI, Vincent Oniyoma dalam konfrensi pers di Sekretariat MAI, Jalan Trikora Gang Amole Kwamki Baru, Rabu (26/4).
MAI resmi membuka Posko pengaduan pada 7 April 2017, tepat 50 tahun operasi tambang PT FI di Tembagapura. Central Posko Pengaduan tetap berposisi di Sekretariat MAI. Untuk mempermudah masyarakat membuat pengaduan, MAI akan membuka 15 posko sektor tersebar di wilayah Kabupaten Mimika.
"MAI hadir untuk menjadi media bagi korban investasi Freeport selama 50 tahun. Kami siap mendata dan mendampingi para korban. Kepada pihak pihak yang dipakai Freeport dan selalu mengatasnamakan masyarakat adat, coba kembali turun lihat situasi masyarakat akar rumput. Sesungguhnya kita semua adalah korban," katanya
Salah satu saksi sekaligus korban, Mama Ema Natkime mencoba mengisahkan pengalamannya. Namun, karena air mata terlanjur jatuh, ia tak lagi mampu bercerita panjang lebar.
"Sebenarnya kami yang punya gunung, tapi bukan kami punya lagi. Mau bicara juga salah, karena bukan kita punya barang lagi. Generasi kami hancur, diancam dengan segala cara. Kami sudah kayak sampah, binatang, bukan manusia," kata Mama Ema sambil menangis.
Mewakili Dewan Adat Daerah, Thomas Wanmang menjelaskan, korban dimulai saat PT FI memutus ikatan masyarakat adat dengan alam tempat membangun budaya dan sejarah. Akibatnya, masyarakat adat lumpuh, tercabut hak hidup, ekonomi dan sosial budayanya. Yang tercipta adalah pola ketergantungan.
"Masih ada generasi tua yang hidup, mereka ini masih bisa jadi saksi apa sebenarnya yang terjadi," ujar Thomas
Stevanus Warae mewakili masyarakat Suku Kamoro menambahkan, selama 50 tahun PT FI beroperasi, masyarakat adat termarginalkan. Masyarakat adat bukan pelaku, tapi hanya menjadi penonton kekayaan alamnya dieksploitasi.
Selain membuka posko pengaduan bagi korban, MAI tetap konsisten menuntut audit hasil kekayaan PT FI selama 50 tahun beroperasi dan mempertanggungjawabkan kerugian yang dialami masyarakat akar rumput serta memberikan hak masyarakat akar rumput menentukan masa depan pertambangan di atas tanahnya.
Sumber: HarianPapua.com