Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Petisi West Papua timbulkan kehebohan, ini respon dari Papua

Benny Wenda menyerahkan petisi kepada Jeremy Corbyn, Anggota Parlemen UK dan Ketua Partai Buruh UK, Juli 2017 - Jubi/Victor Mambor

Jayapura, Jubi - Sebuah petisi yang diklaim berisi keinginan rakyat Papua melakukan referendum di Tanah Papua sejak minggu lalu telah menghebohkan masyarakat di Tanah Papua, Pemerintah Indonesia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bantahan dan saling tuding bermunculan di berbagai media nasional sejak petisi tersebut dimuat oleh media Inggris, The Guardian. Pemerintah Indonesia menuding Benny Wenda, aktor di balik petisi tersebut berbohong dan menyebarkan Hoax. Mengutip pernyataan Ketua Komite Khusus Dekolonisasi yang dikenal dengan sebutan C24, Rafael Ramirez, Perutusan Tetap RI untuk PBB di New York mengatakan tidak ada petisi dari West Papua yang diterima oleh C24.
Sebaliknya, Benny Wenda mengatakan jika petisi tersebut adalah hoax seperti yang dikatakan oleh pemerintah Indonesia, mengapa ada orang yang dipenjara karena mengorganisir penandatangan petisi tersebut? Ia sudah menduga Indonesia akan melakukan apapun untuk mendiskreditkan petisi tersebut, dirinya dan pemimpin West Papua lainnya, bahkan rakyat West Papua.
Namun sebagian tokoh Papua berpandangan diserahkan atau tidaknya petisi itu bukan hal yang substansial. Pemerintah Indonesia harus mengakui bahwa kebijakan di Tanah Papua ini belum memuaskan Orang Asli Papua.
Respon dari Papua
Menanggapi kehebohan petisi ini, anggota DPR Papua, Laurenz Kadepa mengatakan saling klaim antara pemerintah Indonesia dengan Benny Wenda saat ini bukan substansi persoalan Papua. Ini semestinyai menjadi pelajaran buat pemerintah agar kebijakan untuk Papua harus dievalusi dari semua aspek khususnya bidang HAM.
“Hoax atau tidaknya informasi petisi ini tidak perlu diperdebatkan. Kini persoalan HAM di Papua menjadi agenda PBB dan itu akan menjadi kendala pemerintah Indonesia. Soalnya negara pemerhati persoalan HAM Papua terus bertambah, bukan hanya negara-negara Melanesia saja,” kata Kadepa, Minggu (1/10/2017).
Menurutnya, kalau semua pelanggaran HAM dibiarkan maka pasti rakyat Papua berharap organisasi lain yang independen entah dari dalam negeri ataupun luar negeri juga termasuk negara anggota PBB menyuarakannya.
“Pemerintah Indonesia sebaiknya mengoreksi diri dan memperbaiki kebijakan di Papua,” lanjut Kadepa.
Sedangkan Ketua Komite Nasional Papua Barat, Victor Yeimo kepada Benar News menegaskan tanpa petisi pun semua orang tahu keinginan bangsa Papua, yakni menggelar referendum sebagai media untuk menentukkan nasib orang Papua.
Mengenai bantahan Ketua C24 menurut Yeimo, jika Ketua C24 menolak menerima petisi dalam kapasitasnya sebagai ketua itu memang wajar karena kewenangan komisi tersebut masih pada 17 wilayah nonself governement teritory. Ramirez punya hak untuk menolak menerima secara formal.
“Yang harus dipahami oleh rakyat Papua adalah ketua C24 sendiri dalam video wawancara menyampaikan bahwa West Papua dilist oleh General Assembly. Artinya ia menjelaskan prosedural isu yang didorong. Jadi, petisi itu baik sebagai publik awareness, tetapi yang utama bagi bangsa Papua adalah memperkuat kekuatan perjuangan dalam negeri untuk mendorong proses pembebasan bangsa Papua,” jelas Yeimo.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Markus Haluk, satu dari sekian tim kerja ULMWP. Menurutnya, faktanya pada hari Selasa 26 September 2017 Benny Wenda didampingi Rex Rumakiek, salah satu eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menyerahkan petisi ke tangan ketua Komisi Dekolonisasi PBB di New York.
“Kalau ada  tanggapan Pemerintah Indonesia yang mengatakan itu bohong, saya pikir itu semua wajar aja. Kita berdoa dan kerja semoga pada waktunya kebenaran itu tegak bagi Bangsa Papua dan Indonesia serta PBB,” kata Haluk.
ULMWP lanjutnya, tetap fokus dan kerja bagi hak penentuan nasib sendiri tanpa merasa terganggu dengan kehebohan yang terjadi karena petisi tersebut.
Benny Wenda dan petisinya
Adalah Benny Wenda, tokoh perjuangan Papua Merdeka mengaku telah menyerahkan Petisi Rakyat West Papua kepada perwakilan C-24. Setelah berita penyerahan petisi ini dirilis oleh media Inggris, The Guardian, Pemerintah Indonesia langsung membantah dan menyebutkan aksi petisi tersebut sebagai aksi publisitas tanpa kredibilitas.
Kepada Jubi, Benny Wenda mengatakan ia menyerahkan petisi tersebut kepada perwakilan C24 pada tanggal 26 September di Kantor Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Ia bersama Rex Rumakiek yang menyerahkan petisi tersebut kepada perwakilan C-24.
“Lebih dari 70% penduduk di Papua menginginkan pemungutan suara (referendum) di West Papua. Uskup Desmond Tutu dan Noam Chomsky adalah dua tokoh dunia yang ikut menandatangani petisi tersebut,” ungkap Benny Wenda menyebutkan isi petisi tersebut.
Lanjut Wenda, rakyat West Papua yang didukung oleh masyarakat internasional sangat menaruh kepercayaan pada tuntutan petisi tersebut. Rakyat West Papua menuntut West Papua menjadi sebuah wilayah non-pemerintahan sendiri dengan hak penuh untuk mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan.
Penandatanganan petisi ini sendiri tidak berjalan mulus. Tercatat petisi yang disebarkan secara online melalui situs avaaz.org diblokir oleh pemerintah Indonesia pada akhir tahun 2016. Demikian juga petisi yang dijalankan secara manual sejak April 2017. Menurut catatan ULMWP, 57 orang ditangkap karena mendukung petisi tersebut. Diantaranya adalah Yanto Awerkion, Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan sekretarisnya Sem Ukago pada Selasa (12/7/2016).
“Yanto dan Sem terancam Pasal 169 KUHP yang isinya jika turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan, atau turut serta dalam perkumpulan lainnya yang dilarang oleh aturan-aturan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun,” tambah Benny Wenda.
Bantahan Indonesia
Aksi petisi ini membuat Perutusan Tetap RI untuk PBB, New York, Triansyah Djani, mengeluarkan rilis pers yang mengutip wawancara dengan Rafael Ramirez.
"Sebagai Ketua Komite Khusus Dekolonisasi PBB (C-24), saya maupun Sekretariat Komite, tidak pernah menerima, secara formal maupun informal, petisi atau siapapun mengenai Papua seperti yang diberitakan dalam koran Guardian," demikian pernyataan Rafael Ramírez dikutip dalam rilis pers tersebut.
Lebih lanjut Duta Besar Ramirez menegaskan ia sangat menghormati integritas dan kedaulatan wilayah semua anggota. Mandat dari Komite Dekolonisasi, lanjutnya, terbatas kepada 17 Non-Self-Governing Territories dan Papua tidak termasuk dalam 17 teritori tersebut.
Pernyataan Ramirez ini didukung oleh sebuah video wawancara yang disiarkan secara luas melalui chanel youtube oleh Perutusan Tetap RI untuk PBB, New York.
Juru bicara kementerian luar negeri Indonesia Arrmanatha Nasir, yang turut serta bersama delegasi Indonesia dalam pertemuan Majelis Umum PBB di New York, menyebut petisi tersebut sebagai aksi yang tidak berdasar.
"Itu murni aksi publisitas tanpa kredibilitas," katanya, dikutip The Guardian.
Papua, lanjut Nasir adalah bagian integral dari Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 2504 (XXIV) 1969.
Dukungan anggota parlemen Inggris
All Party Parliamentary Group (APPG) Inggris memberi dukungan penuh pada petisi rakyat West Papua. Rilis APPG yang diterima Jubi, Rabu (27/9/2017) menyebutkan petisi ini memberikan bukti kuat bahwa rakyat West Papua ingin mengekspresikan harapan mereka untuk masa depan yang lebih baik.
Oleh karena itu, menurut Hon. Alex Sobel, anggota APPG (dari partai buruh Inggris) mengakui semua anggota APPG mendukung rakyat West Papua dalam menyerukan hak mereka yang tidak dapat dicabut untuk menentukan nasib sendiri secara demokratis, sehingga akhirnya mereka dapat dengan bebas menentukan masa depan mereka sendiri dengan damai.
“Kami juga akan meningkatkan perkembangan yang signifikan ini dengan Pemerintah Inggris,” kata Alex Sobel.
Lanjut Sobel, Rakyat West Papua telah mengalami lebih dari 50 tahun pelanggaran hak asasi manusia yang meluas tanpa penyelesaian yang memuaskan. Sehingga sangat jelas, bahwa dalam situasi yang terus memburuk, rakyat West Papua tidak aman di bawah pendudukan Indonesia. (*)

Sumber: http://tabloidjubi.com