Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Konspirasi Global Dibalik ISIS

Menakar Dalang Kemunculan ISIS
Kemunculan ISIS semakin menambah rentetan aksi teror kepada dunia. Mengapa ISIS begitu bebas beraksi. Jangan-jangan ada konspirasi global yang sengaja mendesain kepanikan dunia.

Krisis Suriah yang telah berlangsung selama 5 tahun tampaknya akan makin rumit dan berkepanjangan. Dalam arti, selama ISIS masih bertabur dana dan senjata, perdamaian tak akan pernah terwujud disana. Apalagi bila Amerika dan sekutu Baratnya tetap bersikap setengah hati seperti sekarang.

Dilihat dari persenjataan dan personil, Amerika hanya butuh beberapa hari untuk menghabisi ISIS. Ingat, dalam perang 1967, Israel sendirian sanggup membuat Mesir, Jordania, Suriah, dan Lebanon bertekuk lutut dalam waktu 6 hari. Negara-negara yang jauh lebih besar dari segi penduduk dan wilayah itu bahkan terpaksa menyerahkan sebagian tanahnya kepada Israel. Dalam perang itu, mesin-mesin perang Israel hampir seluruhnya buatan Amerika.

Lalu, ketika Amerika terjun langsung, pembantaian besar-besaran terhadap tentara Irak dan penduduk sipil tak terelakkan. Bayangkan, operasi Badai Gurun untuk mengusir pasukan Irak dari Kuwait, yang hanya berlangsung dari 17 Januari hingga 28 Februari 1991, menyebabkan lebih 100 ribu orang tewas, Hampir seluruh korban tewas adalah tentara dan penduduk sipil Irak.

Ketika operasi berdarah ini dilakukan, Presiden Irak Saddam Husein sedang di puncak kejayaannya, demikian pula militer yang berada di belakangnya. Saddam Husein pun hanya bisa bermuram durja menyaksikan sebagian besar kekuatan militernya hancur lebur.

Bila sekarang ISIS tampak digdaya di hadapan Barat, di mata banyak pengamat Timur Tengah, karena di belakangnya ada sebuah konspirasi global sebagaimana pernah terjadi di Afghanistan ketika diduki oleh Uni Soviet. Saat itu, di era 1980-an, Barat memberi dukungan dana dan senjata secara besar-besaran untuk membantu kaum Mujahidin melawan pasukan Uni Soviet.

Dalam konteks Suriah, konspirasi global tersebut diawali dengan Arab Spring, yaitu sebuah gelombang besar gerakan pro demokrasi di jazirah Arab. Demikian besarnya gelombang ini, sehingga sanggup meruntuhkan kediktatoran di Tunisia dan Mesir. Gelombang itu juga membangun keyakinan yang tersebar luas di seluruh dunia bahwa seluruh rezim otoriter di Timur Tengah akan segera tumbang.

Amerika dan sekutuya melihat gelombang itu sebagai peluang untuk menghabisi kekuasaan sekutu tradisional Rusia yang masih bertahta di Suriah, yaitu partai sosialis Ba�ath di bawah pimpinan presiden Bashar al-Assad. Negara super kuat ini lantas berkongkalikong dengan Turki, untuk melatih dan mempersenjatai para pemberontak pro demokrasi dan Islam moderat di Suriah. Mantan Menlu AS Hillary Clinton pun sudah mengakui secara terbuka bahwa pada awalnnya pasukan pemberontak di Suriah dibiayai oleh Amerika.

Tekanan militer demikian hebat dari kubu pemberontak itu akhirnya mendorong Bashar, yang sesungguhnya seorang sekuler dan berpendidikan Barat, membangkitkan solidaritas Syiah agar memperoleh dukungan dari Iran.

Dalam perkembangan selanjutnya, bantuan dari Barat ternyata  banyak salah sasaran. Akibatnya, kekuatan-kekuatan pemberontak radikal anti demokrasi menggelembung. Di antaranya adalah Jabbah Nusroh, yang sekarang justru menjadi bagian penting dari pasukan ISIS.  Kelompok ekstrim ini dalam operasi intlejen diibaratkan agen binaan yang mengingkari pengendalinya.

Sekarang Turki sendiri malah puyeng karena berada dalam situasi kiri-kanan kena. Dalam arti, Turki waswas karena ulah ISIS bisa merusak kemanan dalam negeri. Apalagi Turki sekarang juga menjadi wilayah transit favorit bagi mereka yang akan ke atau pergi dari Suriah.

Tapi di lain sisi, Turki diuntungkan oleh permusuhan antara ISIS dengan Kurdi. Sejumlah wilayah Kurdi bahkan telah diduki oleh ISIS. Turki tentu saja senang karena dari sanalah para pemberontak Kurdi melancarkan serangan ke Turki. Selama puluhan tahun pemberontakan Kurdi, sudah ribuan tentara dan penduduk sipil Turki tewas dihajar peluru dan bom Kurdi. Kenyataan inilah yang membuat pemerintah Turki melihat bahwa  ancaman kemanan terbesar bagi negaranya adalah pemberontakan bersenjata suku Kurdi.

Turki juga melihat, di belakang ISIS terdapat para penguasa petrodollar dan politik di jazirah Arab. Mereka mendukung ISIS karena bertujuan untuk membebaskan Irak dan Suriah dari cengekeraman kaum Syiah, karena mereka sendiri adalah penganut Sunni. Inilah mengapa menteri luar negeri Turki, Mevlut Cavusoglu ngotot bahwa masalah ISIS harus diselesaikan melalui kerja sama dengan negara-negara Timur Tengah, yang juga merupakan pasar utama negeranya. 

Sementara itu tekanan juga makin keras terhadap Turki agar lebih serius dalam mencegah orang yang hendak menyeberang ke Suriah. Data dewan keamanan PBB melalui Tim Pengawasan Pelaksana Sanksi PBB yang dirilis akhir tahun lalu, menyebutkan bahwa sekitar 15.000 orang dari 80 lebih negara masuk ke Suriah dan Irak berjuang bersama ISIS melalui Turki.

Turki juga disinyalir membeli minyak dari ISIS serta menjadi jalur penyelundupan senjata dan peralatan perang. Menteri keuangan Irak, Hoshyar Zebari pernah mengungkapkan bahwa ISIS mengendalikan sejumlah ladang minyak di Suriah dan Irak. Minyak dari ladang-ladang tersebut kemudian diselundupkan melalui darat yang dimakelari oleh Turki.

Agar tekanan dari masyarakat internasional mereda,  pemerintah Turki sekarang memang tampak lebih serius dalam menangani para pelintas batas, termasuk pemeriksaaan terhadap seluruh barang yang mereka bawa dari atau ke Suriah. Tapi selama para pemberontak Kurdi tetap merongrong keamanan Turki dan menggunakan Suriah sebagai pangkalan militernya, pemerintah negara Persia ini akan tetap lebih suka menyokong ISIS. Apa boleh buat, gempuran-gempuran ISIS terhadap kamp-kamp militer Kurdi memberi rasa lebih aman kepada Turki.

Adalah mutahil bila Amerika dan sekutu Baratnya memiliki pandangan yang berbeda dengan Turki terkait keterlibatan para penguasa di negara-negara kaya minyak dalam ISIS. Sama dengan Turki, Amerika melihat hubungan ekonomi dan diplomatik dengan negara-negara tersebut terlalu berharga untuk diabaikan kalau hanya demi ISIS. 

- See more at: http://indonesianreview.com/