Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Relokasi Suku di Papua; Berkaca Pada Kegagalan Belanda

Jakarta - Ide Presiden Joko Widodo merelokasi orang-orang Asmat ditolak oleh para kepala daerah di Papua. Pemerintah Hindia Belanda sebetulnya pernah melakukan relokasi di Papua pada pengujung 1950-an.
Seorang polisi mengevakuasi bocah suku Asmat yang terkena campak. (Foto: dok. Polda Papua)

Pasca-Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, pada akhir 1949, pemerintah Belanda masih menguasai Irian Jaya (Papua). Mereka sempat melakukan penataan pemerintahan dan sosial sebelum angkat kaki pada 1962.

Buku Belanda di Irian Jaya, yang ditulis oleh Pim Schoorl dan rekan-rekannya sesama mantan pegawai Departemen Dalam Negeri di Nugini-Belanda pada akhir 1960-an, mencatat Belanda pernah menerapkan kebijakan transmigrasi. Hal itu dilakukan untuk menata beberapa daerah.

Pada 1958, kontrolir yang diperbantukan untuk residen Papua Barat, Frans Peters, tengah mengawasi pembukaan kebun cokelat di Warmare, dekat Manokwari. Pemerintah memindahkan suku Moire yang mendiami daerah terisolasi di Pegunungan Arfak ke lahan-lahan di Warmare seluas 500 hektare.

Moire tinggal di desa-desa yang berisi tiga sampai delapan rumah besar. Masing-masing desa dihuni rata-rata 50 jiwa. Jika lebih, sebagian akan keluar dan membentuk desa baru. Sebanyak 10 desa sepakat untuk pindah dan bertanam cokelat di Warmare.

Celakanya, pada Januari 1960, mereka tiba-tiba lari dari Warmare. Kematian mendadak merebak di desa baru, padahal belum semua suku mengikuti transmigrasi. Peters mencatat ada 31 kematian dalam waktu berdekatan.

Baca : Belanda Menjajah di Indonesia; Spanyol di Filipina; Indonesia di Papua


Suku Moire yakin ada suangi (ilmu hitam) di Warmare yang mengancam mereka. Peters mendapat laporan bahwa menghirup udara dan makan di sana menyebabkan penyakit dan kematian. Orang Moire berpesan agar Peters hati-hati. "Melawan suangi kelihatannya bukan tugas yang ringan," tulis Peters.

Ia menurunkan tim medis untuk meneliti penyebab kematian. Ternyata beragam nyamuk malaria menjangkiti suku Moire. Pembukaan lahan besar-besaran telah memicu munculnya sarang nyamuk, dan jentik anopheles terdeteksi di mana-mana.

Melanjutkan relokasi Moire bukan tugas sepele. Mereka masih ketakutan dan permusuhan di antara orang Moire sendiri merebak. Suku Moire bersedia pindah ke Warmare setelah jalan ke Manokwari dibangun.

Bencana kematian relokasi suku tidak hanya membunuh suku yang dipindahkan. Amtenar Mimika pada 1961, Hein van der Schoot, menyebutkan pemerintah tengah mengerjakan proyek transmigrasi di Mimika dengan memindahkan orang-orang suku Amungme yang tinggal di Pegunungan Carstensz, Puncak Jaya, Papua.

Pemerintah kesulitan menjangkau mereka karena terpencil. Tanah mereka pun hampir mustahil ditanami, curah hujan tak menentu, dan ketika tak ada air pasti terjadi kelaparan. Sementara perluasan lahan tak mungkin dilakukan karena mereka bermusuhan dengan suku tetangga, seperti Dani dan Nafarepi (suku Asmat yang masih nomaden).

Transmigrasi orang Amungme ini dinamai Proyek Agimuga. Mereka membangunkan permukiman di dekat Sungai Agimuga yang landai. Namun pembukaan lahan membawa dampak lain. Kampung Belekmakama di Lembah Tsingga, tempat yang tak jauh dari tempat relokasi, diserbu malaria.

Populasi kampung itu hanya 500 jiwa. Pada Mei hingga pertengahan Juli 1961, 25 orang meninggal. Jumlah kematian meningkat menjadi 60 jiwa dalam beberapa bulan berikutnya.

Serbuan malaria ini terjadi sebelum suku Agimuga dipindah. Awalnya pemerintah menganggap gelombang kematian ini menjadi alasan percepatan relokasi. Namun, karena beberapa pertimbangan, Schoot menyarankan agar tak dilanjutkan. Alasannya, pengendalian malaria belum tentu berhasil.

Selain itu, jika hal itu dipaksakan, ribuan orang Amungme akan bergantung pada produk farmasi, yakni obat malaria. Padahal pendapatan mereka tidak memadai untuk belanja farmasi. Pemerintah Belanda pun menghentikan niat ini walau sudah membangun rumah-rumah dari kayu besi di tepi Sungai Amungme.

"Pada waktu itu saya tidak dapat berbuat banyak kecuali berbekal informasi terkait, berusaha meyakinkan pejabat yang bertanggung jawab bahwa proyek itu tidak punya prospek," catat Schoot. ayo/jat/news.detik.com)