Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kematian Balita dan Gizi Buruk, Ini Pernyataan Sikap Front Rakyat Indonesia dan Aliansi Mahasiswa Papua

Front Rakyat Indonesia untuk West Papua(FRI-WP) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
________________________________________________________________
Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!

Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak
Waa…waa…waa…waa…waa…waa..waa..waa..waa..waaa!

Kematian Balita dan Gizi Buruk tak bisa dipisahkan dari Penjajahan!

Kematian balita dan gizi buruk di Papua sebagaimana yang terjadi di Asmat dalam 4 bulan terakhir ini bukan lah fenomena. Sekali lagi bukan fenomena!
Kasus kematian hampir 70 balita di Asmat karena penyakit campak dan gizi buruk merupakan bagian dari deretan kasus yang sering terjadi di Papua. 85 anak balita di asmat dengan kondisi gizi buruk mendapatkan perawatan intensif. Ada lima distrik di pedalaman yang terserang campak dan gizi buruk, yakni Swator, Fayit, Pulau Tiga, Jetsy, dan Siret.

Dalam hampir lima tahun terakhir mencuat berbagai kasus kematian balita dan persoalan di beberapa daerah di Papua. Sejak november 2012 hingga februari 2013 sekitar 95 orang meninggal karena gizi buruk dan penyakit gatal-gatal, di kabupaten Tambrauw. Pada november 2015, sebanyak 41 orang balita meninggal di kabupaten Nduga. Kemudian, dalam kurun pertengahan april hingga pertengahan juli 2017, 50 orang balita meninggal di kabupaten Tigi Barat, karena penyakit ISPA, campak, diare, dan disentri. Pada pertengahan juli 2017 sekitar 20 bayi meninggal karena berbagai penyakit dan gizi buruk di kabupaten Deiyai. Kemudian pada dua bulan terakhir, 23 balita meninggal di Pegunungan Bintan disebabkan gizi buruk.

Sebenarnya persoalan di Asmat sudah terjadi dalam kurun waktu 4 bulan terakhir, namun pemerintah Indonesia tidak sigap dalam menangani persoalan ini. Sementara, persoalan kematian balita dan gizi buruk sebenarnya sudah lama diberitakan sebagai salah satu persoalan kesehatan di Papua. Unicef, misalnya, pada tahun 2015, sudah mencatat angka kematian balita di Papua tiga kali lipat angka kematian balita di Jakarta atau sekitar 81 balita per seribu kelahiran. Dan pada tahun 2005, Oxfam, mencatat terdapat sekitar 69,883 jiwa yang menderita gizi buruk di Papua, dimana 58 orang diantaranya meninggal dunia.

Meskipun berbagai fakta dan kejadian sudah menunjukan hal tersebut. Namun, sekali lagi, kekayaan alam Papua nampaknya lebih menggiurkan bagi proyek pembangunan Indonesia dan kepentingan investasi internasional ketimbang manusia-manusia Papua itu sendiri. Dampaknya, terjadi pemaksaan perubahan pola hidup masyarakat adat hingga akhirnya berpengaruh terhadap daya tahan tubuh masyarakat akibat perubahan pola hidu dan perubahan lingkungan. Di beberapa kasus memunculkan macam-macam penyakit seperti Ispa, gatal-gatal, dsb. Sebagaimana menggiurkannya potensi blok minyak dan gas yang ditemukan di Asmat. Yang kemudian menambah potensi kekayaan alam dari minyak hingga 45 Miliar Barel untuk seluruh Papua.

Adalah hal yang tidak pernah disikapi secara serius dugaan keterkaitan antara aktivitas-aktivitas perusahaan-perusahaan tambang dan mineral dengan berbagai penyakit yang tak sedikit diantaranya berakhir dengan kematian balita maupun dewasa. Tentu, sekali lagi, sebab kepentingan bisnis lah yang utama, bukan? 

Sementara derai tangis keluarga korban kematian balita ini belum pula kering. Elit-elit politik di Jakarta sibuk saling menuding satu sama lain. Atau tak sedikit diantaranya mencari muka. Sangat dimungkinkan, sebab tahun ini adalah tahun persiapan kompetisi politik 2019. Begitu pula tim-tim sukses dari elit-elit Papua yang sedang berkompetisi dalam sistem “demokrasi” penjajah, yang banyak diantaranya memiliki benang merah dengan kepentingan elit politik di Indonesia.

Padahal kalau kita periksa kembali, problem gizi buruk dan kematian balita, bukanlah fenomena hari ini saja. Melainkan, fakta sejarah yang tak bisa dipisahkan dari faktor penjajahan dan kepentingan modal internasional.

Kekayaan Papua sudah diperas sedemikian rupa, diambil sebanyak mungkin, diberikan sesedikit mungkin pada rakyat Papua. Segala macam persoalan akan muncul tentunya, apakah itu gizi buruk, ketimpangan kesejahteraan, kematian balita, puskesmas yang tak dikunjungi petugas kesehatan, dsb. Sebab, perkembangan Papua tak bisa lebih maju lagi dibawah kolonialisasi.

Atas persoalan-persoalan diatas kami menegaskan kembali bahwa:

1. Realitas gizi buruk dan kematian balita tak bisa dipisahkan dengan problem kolonialisme dan kepentingan modal internasional.
2. Akar persoalan di Papua adalah penjajahan dan oleh karena itu rakyat dan bangsa berhak untuk menentukan nasibnya sendiri.
3. Elit-elit Politik Indonesia stop “cari muka” untuk pemilu 2019.
4. Pesta demokrasi (Pilkada) di Papua tidak akan menjawab persoalan mendasar rakyat dan bangsa Papua.

Kami menuntut Pemerintah Indonesia yang telah mengambil sedemikian banyak dari kekayaan alam rakyat dan bangsa Papua dalam kaitannya dengan kejadian kematian balita dan gizi buruk ini untuk:
1. Bentuk tim penyelidikan independen yang melibatkan lembaga-lembaga kesehatan internasional dibawah PBB terkait penyebab menyebarnya berbagai penyakit dan gizi buruk di berbagai daerah di Papua.
2. Mengirimkan tenaga medis dan obat-obatan.
3. Membangun infrastruktur kesehatan.
4. Membangun sekolah-sekolah kesehatan (Kedokteran, Keperawatan, Kebidanan, dsb) serta laboratorium-laboratorium pengembangan obat-obatan.

Tuntutan darurat tersebut sebagai bagian tak terpisahkan dengan proses penentuan nasib sendiri bagi rakyat dan bangsa papua. Sebab, Negara Indonesia sudah “mengambil lebih banyak, memberi lebih sedikit” terhadap rakyat dan bangsa Papua.

Demikian pernyataan sikap ini dibuat, atas dukungan, pastisipasi dan kerjasama oleh semua pihak, kami ucapkan banyak terima kasih.

Salam Solidaritas!
Medan Juang, 30 Januari 2018
Humas 

Surya Anta (FRI-WP)